Kegiatan : BEDAH BUKU, HE QI: UTARA.
Tema : “Sharing Relawan Pembagian Beras Cinta Kasih di NTT”
MC : Po San
Sharing by : Joe Riadi, Hok Lay, Bambang
Lokasi : Jing Si Books & Cafe Pluit
Waktu : 19 Januari 2012, 19.00-21.00 WIB
Jumlah Peserta : 21 orang
2.
walaupun banyak yang tidak mengerti bahasa Indonesia, namun ketika
diarahkan, mereka mengerti untuk antri saat menunggu giliran mengambil
beras.
Hok Lay Shixiong
berpendapat, orang-orang di pedesaan hidupnya lebih sederhana. Berbeda
dengan orang di perkotaan, orang pedesaan lebih lugu, kalau diberi beras
maka diterima saja, kalaupun tidak mendapat jatah juga tidak menuntut
apa-apa. Hok Lay Shixiong merasa orang di pedesaan memiliki
rasa solidaritas yang lebih tinggi dibanding orang perkotaan, orang
pedesaan cenderung lebih bersedia berbagi dengan sesama dan tidak
serakah.
“Dari
melakukan, mengerjakan, merasakan, kamudian barulah memahami. Ibarat
kita misalnya punya resep makanan vegetarian, tapi tidak pernah dimasak,
maka kita tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya.” Sama halnya dengan
melakukan kegiatan Tzu Chi, bila kita hanya mendengar tapi tidak pernah
kita praktekkan, maka kita tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya.
Hok Lay Shixiong merasa sangat bersyukur bisa bergabung di Tzu
Chi, bertemu dengan relawan-relawan lain, banyak yang bisa dipelajari,
dirasakan, dan direnungkan. Semuanya adalah pengalaman yang sangat
berharga.
MC : Po San
Sharing by : Joe Riadi, Hok Lay, Bambang
Lokasi : Jing Si Books & Cafe Pluit
Waktu : 19 Januari 2012, 19.00-21.00 WIB
Jumlah Peserta : 21 orang
Bulan
Desember 2011 yang lalu, relawan-relawan dari Jakarta berangkat ke Nusa
Tenggara Timur untuk mengadakan pembagian beras cinta kasih dari
Taiwan. Sebanyak 220 ton beras cinta kasih disalurkan untuk lebih dari
5000 KK di 48 desa yang tersebar di NTT. Relawan yang bertugas pada
pembagian beras itu di antaranya adalah Joe Riadi Shixiong sebagai koordinator, selain itu ada juga Bambang Shixiong dan Hok Lay Shixiong.
Pada
umumnya kondisi tanah di NTT adalah berupa karang dan batu-batuan
sehingga sangat sulit bagi warga setempat untuk bercocok tanam. Mata
pencaharian utama mereka adalah beternak. Tanah terlihat berwarna coklat
dan cukup tandus, hanya bisa ditanami jagung, dan rumput hanya akan
tumbuh bila hujan turun. Selain itu juga terdapat masalah kekurangan
air. Karena kondisi demikian, sehingga sangat sulit bagi warga untuk
mendapatkan pangan yang layak. Rawan pangan, itulah yang terjadi di
sana. Bahkan, rata-rata warga di sana sudah tidak pernah mengkonsumsi
beras sejak 20 tahun yang lalu selain umbi-umbian yang tidak jelas
jenisnya dengan resiko keracunan.
Beberapa kebiasaan dan budaya yang ada di NTT
1.
ipar-iparan tidak diperbolehkan berdekatan apalagi bersentuhan, minimal
harus 2 meter jaraknya, bila melanggar aturan ini, maka bisa dikenakan
denda berupa seekor hewan ternak, misalnya kerbau atau kambing.

3. ada kebiasaan mengunyah pinang, dicampur dengan sirih
dan kapur yang konon bisa menguatkan gigi. Ketika ada yang bertamu,
mereka cenderung akan menawarkan tamu untuk makan pinang sebagai bentuk
penghormatan mereka.
Menurut Joe Riadi atau yang lebih akrab dipanggil A Yau Shixiong,
ia sangat terharu dengan Pemda setempat karena semua akomodasi sudah
disediakan dengan baik sekali, makanan vegetarian, dan minuman selalu
dipersiapkan dengan baik, sehingga mereka dapat dengan tenang bekerja
tanpa harus mengurus hal-hal seperti ini lagi.
A Yau Shixiong
ternyata sudah bolak balik Jakarta-NTT sebanyak tiga kali sejak
diadakan pembagian beras di sana. Hal ini cukup mengharukan dan
menginspirasi relawan-relawan lain. Sebagai koordinator kegiatan, A Yau Shixiong selalu bangun paling pagi, dan tidur paling akhir.
Banyak
warga penerima bantuan yang merasa sangat terharu dan menangis karena
sudah 20 tahun lamanya tidak melihat beras berkualitas baik seperti itu,
terlebih lagi ketika mengetahui para relawan penyalur bantuan ini
datang jauh-jauh dari Jakarta dengan mengeluarkan biaya sendiri, datang
dan memberi bantuan kepada orang yang tidak mereka kenal. Sebaliknya, A
Yau Shixiong dan teman-teman juga merasa sangat salut sekaligus
prihatin dengan warga setempat karena harus berjalan 3 jam lamanya
untuk menjemput bantuan beras dari Tzu Chi.

Dengan mengikuti kegiatan bagi beras yang jauh
dari Jakarta, tentu semua urusan di Jakarta harus ditinggalkan untuk
sementara. Selain itu juga harus mengeluarkan biaya transport sendiri,
tiba di lokasi harus berhadapan dengan fasilitas yang sangat minim,
terutama sinyal telepon selular yang sangat terbatas. Bagi orang yang
sudah terbiasa hidup di perkotaan tentu merasa sangat tidak nyaman
walaupun hanya beberapa hari. Menurut Hok Lay Shixiong, ini adalah salah satu cara MELEPAS. “Saya ke sana sedang belajar MELEPAS. Seringkali di sana tidak ada sinyal hape, salut kepada A Yau Shixiong yang bisa selama itu di NTT, tiga kali bolak balek. Saya sendiri hanya delapan hari di sana aja udah merasa banyak yang hilang,” tuturnya.

“Dalam setiap perjalanan pasti ada
ketidakcocokan, dari itu kita belajar BERTOLERANSI, menerima pendapat
orang lain. Juga belajar mengenali timbulnya kesadaran, emosi, dan
perasaan. Ketika ikut kegiatan, kita sebenarnya sedang BELAJAR. Dalam
satu situasi atau kondisi tertentu, kita belajar MERELAKAN, belajar
tidak menaruh curiga, melatih KEBIJAKSANAAN kita. Seperti ucapan Master
Cheng Yen ‘Tidak ada orang yang tidak saya percayai’. Bila saya memberi,
tapi orang lain mau menipu atau mau menyimpang, itu adalah urusan
mereka, karma masing-masing. Jangan ada rasa curiga ini atau curiga itu
terhadap orang lain. Di sini kita belajar bagaimana MENJAGA HATI kita
tetap tenang,” ujar Hok Lay Shixiong.
Bambang Shixiong juga merasa sangat kagum kepada A Yau Shixiong. Walaupun masih banyak kegiatan Tzu Chi selain bagi beras, namun A Yau Shixiong masih bisa menyempatkan diri berangkat ke NTT hingga tiga kali. Menurutnya, Tzu Chi sudah masuk ke sumsum tulangnya A Yau Shixiong. Ketika di NTT, bangun paling pagi, membangunkan yang lain, menyapu dan mengepel lantai setiap paginya itu dilakoni oleh A Yau Shixiong. Seringkali Bambang Shixiong
mau merebut alat sapu dan pel dengan maksud mengambil pekerjaan itu,
tapi sekalipun tidak pernah berhasil. “Beliau tidak pernah mengeluh,
selalu bekerja dengan penuh tanggung jawab, merupakan contoh dan teladan
bagi yang lain.”
Di akhir sharing, A Yau Shixiong merasa sangat senang bisa bersumbangsih dan menyalurkan bantuan ke NTT. A Yau Shixiong juga berharap makin banyak relawan yang mau bergabung untuk menebar cinta kasih kepada sesama.
Sebagai penutup, Po San Shixiong
berpendapat, orang-orang yang bergabung di Tzu Chi adalah orang yang
sangat beruntung, bisa mengunjungi daerah yang belum pernah dikunjungi,
ke daerah pedalaman seperti itu bisa menikmati keindahan alam yang masih
natural. Setiap perjalanan merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Para relawan yang berangkat ke NTT jauh-jauh dari Jakarta dengan biaya
sendiri (sekitar 3 juta sekali pulang pergi) dan berbagi kasih dengan
warga setempat, adalah orang-orang yang BIJAKSANA karena sanggup
mengubah berkah materi (uang) yang tidak kekal menjadi berkah abadi
(karma) yang bisa dibawa untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.